Departemen Keuangan dari Masa ke Masa

Kediri 23 Oktober 2009

Departemen Keuangan dari Masa ke Masa.

Terbitnya ORI, tak serta merta membuat bangsa Indonesia menjadi makmur. Sebagaimana maklumat Menkeu saat itu –Sjafruddin Prawiranagara-, justru dengan terbitnya ORI-lah saatnya dimulai kerja keras yang sistematis, guna mewujudkan kemakmuran.

Bagaimana perjalanan keuangan Indonesia?  Silakan menyimak:

Masa 1946-1950

ORI selain secara politis ditujukan untuk menunjukkan kedaulatan RI, juga untuk menyehatkan ekonomi yang tengah dilanda inflasi hebat. Tujuan terakhir ini dicapai dengan cara meninggikan kurs ORI terhadap uang Jepang sebesar 1:50 di Jawa dan 1:100 di Sumatera dan daerah lainnya. Sebagai gambaran hebatnya inflasi saat itu, mata uang Jepang yang beredar di masyarakat pada bulan Agustus 1945 diperkirakan berjumlah sekitar 4 Milyar, 40%-nya beredar di Jawa. Jumlah ini membengkak setelah pasukan sekutu menduduki beberapa kota besar, menguasai bank-bank, dan menghamburkan f2,3 Milyar uang cadangan untuk membayar berbagai pengeluaran rutin, padahal penerimaan dari pajak dan bea masih belum berjalan dengan baik.

Tidak terbayangkan bagaimana kesulitan yang menimpa petani. Sebagai satu-satunya produsen pada jaman Jepang, merekalah yang paling banyak menyimpan uang. Maka merekalah yang paling dirugikan inflasi buatan NICA itu.

Kesulitan berlanjut dengan blokade dagang yang dijalankan Sekutu (= Angkatan Laut Belanda) yang mulai Nopember 1945 – dengan alasan mencegah penyelundupan senjata-  sejatinya adalah untuk mengucilkan RI dari dunia luar dan menghancurkan perekonomiannya.

Terlebih setelah di daerah pendudukan diberlakukan penarikan uang Jepang oleh Allied Military Administration Civil Affairs Branch (AMACAB). hapusnya uang Jepang di daerah RI dan pendudukan menimbulkan kesulitan baru. Uang Jepang yang tadinya digunakan warga pendudukan untuk membeli barang jadi (tekstil, obat, parts, bahkan senjata). NAMUN TERHITUNG TANGGAL 30 oKTOBER 1946 MASA KEEMASAN UANG JEPANG BERAKHIR DIGANTIKAN ORI.

PERTARUNGAN KEWIBAWAAN DUA MATA UANG DARI DUA PIHAK YANG SALING BERBEDA KEPENTINGAN ITU MEMAKSA ORANG HARUS MEMILIH. MENOLAK ATAU MENERIMA Uang NICA atau ORI. Tak jarang terjadi penganiayaan terhadap mereka yang Pro Republik karena tidak mau menerima uang NICA.

Karena blokade Belanda dan sulitnya komunikasi, banyak daerah yang mencetak mata uangnya sendiri. Tekanan dan meluasnya kekuasaan militer Belanda, yakni agresi militer pertama Belanda 21 Juli 1947 dan agresi militer kedua Belanda pada 19 Desember 1948 membuat pemusatan pencetakan dan pengedaran uang tak bisa diadakan lagi. Komunikasi normal antara pusat dan daerah terputus.

Banyak orang lupa, bahwa Yogyakarta selama empat tahun pernah menjadi ibukota Republik Indonesia. Tepatnya pada 4 Januari 1946 sampai 27 Desember 1949 ibukota Republik Indonesia ada di Yogyakarta.

Berpindahnya ibukota RI saat itu bukan tanpa alasan, situasi Jakarta kala itu dalam kondisi tidak aman dan roda pemerintahan RI macet total akibat adanya unsur-unsur yang saling berlawanan. Di satu pihak masih adanya pasukan Jepang yang memegang satus quo, di pihak lain adanya sekutu yang diboncengi NICA. Singkatnya, situasi Jakarta makin genting dan keselamatan para pemimpin bangsa pun terancam. Atas inisiatif HB IX, ibukota RI berpindah ke Yogyakarta. Hijrah ibukota RI itu merupakan atas nasehat dan prakarsa Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan dari Yogyalah persoalan politik bangsa dikoordinasikan. Semua itu bisa berhasil dengan baik berkat kepemimpinan HB IX.

Dipilihnya Yogya sebagai ibukota RI karena pandangan politik ke depan dan keberanian Sultan HB IX mengambil resiko. Sehingga dapat dikatakan HB IX dan masyarakatnya merupakan penyambung kelangsungn RI dalam menghadapi agresi militer Belanda. Sri Sultan Hamengkubuwono IX merupakan aktor intelektualis yang memiliki multi status. Selain sebagai Raja, kepala derah, menteri pertahanan, Sultan adalah key person dan juru runding dengan Belanda, juga sebagai figur kunci birokrasi sipil di Indonesia. Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang aslinya bernama G.R.M Dorojatun, sejak diangkat menjadi Sultan 18 Maret 1940, menggantikan ayahnya Sri Sultan HB VIII sudah dekat dengan kalangan rakyat dan tentu saja beliau memahami aspirasi rakyat, termasuk penderitaan dan harapannya semasa penjajahan Belanda dan Jepang.

Guna memecahkan dan mengatasi masalah kekurangan uang tunai di daerah-daerah, RI membolehkan daerah mencetak Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA). Sehingga semasa perjuangan mempertahankan kemerdekaan 1947 sampai 1949 dikenal:

  • URIPS (Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera) yang berlaku di sebagian Sumatera). Di Sumatera, Urida pertama adalah URIPS (Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera). Emisi pertama Urips tertanggal 11 April 1947, berdasarkan maklumat Gubernur Sumatera Mr. Tengku Moehammad Hasan No. 92/K.O., tertanggal 8 April 1947. Akibat agresi militer Belanda, pencetakan URIPS yang semula ada di Pematang Siantar dipindahkan ke Bukittinggi. URIPS emisi kedua ini terbit pada Agustus 1947.
  • URITA (Uang Republik Indonesia Tapanuli
  • URIPSU (Uang Republik Indonesia Sumatera Utara)
  • URIBA (uang Republik Indonesia Baru – Aceh). ORIBA/URIBA dikeluarkan untuk diedarkan di seluruh wilayah Indonesia apabila pengkuan kedaulatan telah dilakukan. URIBA yang dicetak mempunyai pecahan 10 sen, ½ rupiah, dan 100 rupiah dan hanya sempat diedarkan di wilayah Kutaraja (Aceh)
  • Uang Mandat Dewan Pertahanan Daerah Palembang
  • URIDAB (Uang Republik Indonesia Daerah Banten). Di Jawa, Urida pertama adalah “Uang Kertas Darurat Untuk Daerah Banten”. Emisi pertama uang kertas ini tertanggal 12 Desember 1947. Dasar hukumnya adalah Instruksi Pemerintah Pusat RI kepada Residen Banten Kiai Haji Achmad Chatib, untuk mencetak dan menerbitkan uang daerah yang berlaku sementara.

seri ORI JogjaKarena perpindahan ibukota inilah maka semua uang ORI yang diterbitkan pada tahun 1946 s/d 1949 yaitu seri ORI II, III, IV dan ORI Baru tercantum kata2 Djokjakarta.

Bukan lagi Djakarta seperti pada seri ORI I.

______

Rekam Jejak Nilai tukar Rupiah pada masa ini:

6 Maret 1946 : 1 rupiah menjadi 3 sen. Satu rupiah Jepang disamakan dengan tiga sen uang NICA yang mulai saat itu dinyatakan sebagai pengganti uang Jepang di daerah yang diduduki Sekutu.
7 Maret 1946 : Devaluasi rupiah sebesar 29,12%. Semula US$ 1 = Rp 1,88 menjadi US$ 1 = Rp 2,6525. Akan tetapi nilai tukar  US$ dipasar bebas 19,50 pada Januari 1948
20 September 1949 Devaluasi rupiah 1 US$ = Rp 3,80 Dengan catatan saldo perdagangan Indonesia sedang mengalami fase sangat tidak normal akibat kondisi perang dan revolusi
23 Oktober 1949 : Rp 100 = satu rupiah ORI (berlaku di luar Jawa dan Madura). Khusus di Jawa dan Madura, kurs penukaran adalah 5 : 1.
  • 6 Maret 1946 : 1 rupiah menjadi 3 sen. Satu rupiah Jepang disamakan dengan tiga sen uang NICA yang mulai saat itu dinyatakan sebagai pengganti uang Jepang di daerah yang diduduki Sekutu.
  • 7 Maret 1946 : Devaluasi rupiah sebesar 29,12%. Semula US$ 1 = Rp 1,88 menjadi US$ 1 = Rp 2,6525. Akan tetapi nilai tukar  US$ dipasar bebas 19,50 pada Januari 1948
  • 20 September 1949 Devaluasi rupiah 1 US$ = Rp 3,80 Dengan catatan saldo perdagangan Indonesia sedang mengalami fase sangat tidak normal akibat kondisi perang dan revolusi
  • 23 Oktober 1949 : Rp 100 = satu rupiah ORI (berlaku di luar Jawa dan Madura). Khusus di Jawa dan Madura, kurs penukaran adalah 5 : 1.

Masa 1950-1959 ...

Disebut juga kurun waktu ekonomi liberal.

17SjafruddinPrawiranegarSalah satu fenomena moneter yang paling terkenal adalah gunting Sjafruddin. Secara harfiah memang dilaukan pemotongan uang rupiah menjadi dua bagian. Bagian kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai separuhnya s.d tanggal 9-4-1950 pukul 18.00. Guntingan sebelah kanan dapat ditukar dengan obligasi negara 3% per tahun dan akan dibayarkan dalam 43 tahun.

Keputusan yang tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan RIS Mr. Sjafruddin Prawiranagara nomor PU-1 dan PU-2 itu ditujukan untuk uang kertas Javasche Bank dan Uang NICA. Tujuannya untuk menyedot jumlah uang beredar yang terlalu banyak, menghimpun dana pembangunan, dan menekan defisit anggaran belanja. Polemik pun mewabah terutama menyangkut masalah kerahasiaan kuputusan itu, dan penentuan hari H yang jatuh pada tanggung bulan yaitu 19 Maret pada saat orang cukup memegang uang dan buruh mingguan baru mendapat upah minggu keduanya.

Pengebirian Uang

Fenomena moneter yang tak kalah menariknya terjadi 9 tahun kemudian. 25 Agustus 1959 pecahan uang bernilai di atas Rp 100 diturunkan menjadi sepersepuluh nilai semula oleh Kabinet Kerja, Kabinet Presidensial Pertama setelah dekrit presiden untuk kembali ke UUD 1945.

Disamping itu, simpanan bank berjumlah lebih dari Rp 25.000,- dibekukan dan rupiah didevaluasikan terhadap dolar Amerika dari 1:11,4 menjadi 1:45. Kebijaksanaan ini ditujukan terutama kepada kaum spekulan dan pemegang uang panas. Tapi kenyataannya hampir seluruh masyarakat terkena, sebab umumnya orang segan memegang pecahan 50 dan seratus atau lebih kecil lagi.

Rekam jejak nilai tukar di masa ini:

  • Februari 1952 : Devaluasi Rupiah sebesar 66,67%. Semula US$ 1 = Rp 3,80 menjadi US$ 1 = Rp 11,40. Dipasar gelap tahun 1954 1 US$ = Rp. 44,- dan tahun 1955 1 US$= Rp.48,-
  • 25 Agustus 1959, uang harus “dikebiri” lagi. Uang kertas Rp 1.000,- (yang disebut si Gajah) dan Rp 500,- (si Macan) dinyatakan susut nilainya hingga tinggal 10%. Simpanan di bank yang nilainya melebihi Rp 25.000,- dibekukan. Rupiah didevaluasi dari 1 US$ = Rp. 11.40 menjadi 1 US$ = Rp. 45.
  • Dipasar gelap 1 Us $ = Rp. 93,75 pada akhir September 1959 naik menjadi Rp. 250 akhir Desember 1959

________________

Tinggalkan komentar